Islamophobia Dengan Aksen Amerika

ANKARA (Jurnalislam.com)  – Penayangan film Amerika, Sniper, menghasilkan gelombang kekerasan anti-Muslim di AS, menurut Komite Anti-Diskriminasi Amerika-Arab (the American-Arab Anti-Discrimination Committee).

Pidato kebencian meningkat tajam di media sosial sejak dirilisnya film yang bercerita tentang seorang prajurit Navy Seal Amerika yang berjuang di Irak, kata komite itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada 21 Januari.

"Kami mengharapkan agar sutradara Clint Eastwood mengatakan bahwa tokoh Arab di Amerika adalah juga orang Amerika sebagaimana tokoh yang lainnya," kata Abed Ayoub, direktur kebijakan nasional untuk komite tersebut, dalam sebuah wawancara dengan The Anadolu Agency. Mungkin aspek yang terburuk adalah tema yang berulang itu, bahwa, "Ini adalah Amerika, dan Muslim tidak termasuk dalam Amerika." Ini merupakan sebuah sikap mengejutkan dari negara yang merupakan "tempat bercampurnya" begitu banyak kelompok etnis dan agama yang berbeda,” kata Ayoub.

Tapi film ini jelas hanya merupakan pemicu emosi yang telah terbangun untuk waktu yang lama, yaitu sejak 9/11, dimana Islamofobia mulai meningkat di AS, menurut studi oleh Pew Research Center.

Penelitian yang dilakukan Forum Agama dan Kehidupan Publik dari Pew Research Center (The Pew Research Center’s Forum on Religion and Public Life) pada akhir tahun 2013, menunjukkan bahwa 41 persen orang Amerika memiliki opini positif terhadap umat Islam.

Jumlah anggota partai Republik yang menunjukkan prasangka negatif mendekati 60 persen, penelitian itu menunjukkan.

Sebuah jajak pendapat yang lebih baru oleh Institut Arab-Amerika menemukan bahwa sosok opini-tinggi telah turun menjadi 32 persen.

Sekali lagi, jajak pendapat itu menunjukkan bahwa sikap yang paling negatif datang dari anggota partai Republik.

Serangan terhadap Muslim secara signifikan telah meningkat sejak 2005 hingga 2013, dengan total 691 insiden yang terjadi pada tahun 2013, menurut statistik Pengamat HAM (Human Rights Watch).

HumanRightsWatch.org mengatakan bahwa sejak 7 Januari, yaitu hari terjadinya serangan terhadap kantor Charlie Hebdo di Paris, sudah ada lebih dari 50 serangan dan ancaman terhadap Muslim.

Tak peduli bahwa sejak 9/11, komunitas Muslim-Amerika telah membantu aparat keamanan dan penegak Hukum.

Pada tanggal 2 Februari, seorang wanita yang mengenakan jilbab di pesawat dihina oleh penumpang dan, bahkan diduga dilakukan juga oleh staf maskapai penerbangan Delta.

"Ini adalah Amerika," salah satu penumpang wanita berteriak.

Ketika insiden itu dilaporkan, media sosial mengeluarkan reaksi kebencian yang lebih besar. Tingkat kekerasan pada media sosial setelah insiden itu sangatlah mengejutkan, ADC Presiden, Samer Khala mengatakan dalam sebuah pernyataan pada 3 Februari.

"Kembalilah ke padang gurun. Ini adalah Negara kita, aturan kita," kata salah seorang pengguna Facebook.

Semua penghinaan ini mengabaikan fakta bahwa wanita tersebut dan seluruh keluarganya adalah warga negara Amerika, lahir dan dibesarkan di Amerika.

Bahkan Muslim merupakan 1 persen dari total jumlah penduduk Amerika, menurut statistik Sensus AS.

Sedangkan menurut statistik FBI, mereka merupakan 13 persen dari korban kejahatan kebencian berbasis agama, yang jumlahnya meningkat dua kali lipat pada tahun 2014.

Texas adalah lokasi beberapa demonstrasi anti-Muslim yang buruk.

Terdapat unjuk rasa berulang kali di depan badan legislatif negara tersebut di Dallas dengan membawa spanduk seperti "Zona Bebas Syariah," atau "Aku berdiri melawan Islam."

Baru-baru ini, seorang anggota legislatif mengusulkan RUU yang akan membatasi penerapan hukum syariah.

Sosiolog melihat provokasi (hasutan) hingga menjadi Islamofobia di AS berasal dari sayap politik paling kanan.

"Mereka memanfaatkan dan memutarbalikkan kenyataan dari adanya perbedaan antara Islam dan Syariah Islam, antara Muslim dan Muslim radikal. Sebuah koalisi yang sesuai dengan perspektif kanan dan konservatif telah menggunakan hukum untuk menutupi prasangka negatif mereka dan mereka selalu mencari cara untuk membuat seluruh praktek Islam tidak dapat diterima di Amerika," jelas Muqtedar Khan, seorang sosiolog di Institut Kebijakan Sosial dan Pemahaman (Institute for Social Policy and Understanding) di Washington dalam pernyataannya di depan Komite Kongres (Congressional Committee) tahun lalu.

Khan mengatakan: "Sebuah ideologi anti-Muslim yang muncul seringkali menggunakan simbolisme kebencian seperti 'Quran terbakar,' dan mengatakan kebohongan bahwa '80 persen Muslim Amerika adalah ekstremis, dan menggunakan permainan politik seperti 'melarang syariah' untuk menciptakan dan mempertahankan suasana dan budaya permusuhan yang ekstrim, yang penuh kecurigaan, dan kebencian terhadap Islam dan Muslim."

"Ini adalah etos kebencian yang menempatkan hak-hak Muslim beresiko. Hal ini mendorong orang untuk menganiaya umat Islam dan memungkinkan penegak hukum untuk bertindak tanpa memperhatikan hak-hak konstitusional umat Islam."

Sayangnya, sangat jelas terlihat bahwa sikap warga terhadap Muslim di AS tidak membaik, dan bahwa hasutan oleh sayap kanan telah membantu mengeraskan sikap tersebut.

Namun jajak pendapat oleh Arab-American Institute yang lebih baru memperlihatkan satu catatan yang positif: Pendapat tentang Muslim di Amerika dari orang-orang yang benar-benar memahami Muslim-Amerika jauh lebih positif daripada mereka yang belum memahami Muslim.

 

Deddy | Anadolu Agency | Jurniscom

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.